Liputan6.com, Jakarta - Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai upaya mengaktifkan kembali jalur rel di wilayah Jawa Barat membutuhkan lebih dari sekadar semangat. Proyek revitalisasi rel kereta api ini memerlukan tekad yang kuat serta dukungan anggaran yang memadai, mengingat keterbatasan dana di tingkat daerah maupun pusat.
"Mengaktifkan kembali jalur rel di Jawa Barat, bukan sekedar semangat, namun perlu tekad yang kuat dan anggaran yang cukup. Oleh sebab itu, perlu dukungan anggaran yang pasti," kata Djoko dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu, 23 April 2025.
Menurut Djoko, rencana reaktivasi ini tidak bisa sepenuhnya bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Barat.
Pasalnya, provinsi ini masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam penyediaan infrastruktur dasar, terutama jalan-jalan di daerah pelosok yang masih belum memadai.
"Jika menggunakan APBD, pasti tidak mencukupi. Provinsi Jawa Barat masih perlu membangun jaringan jalan di daerahnya yang perlu segera dituntaskan," ujarnya.
Keterbatasan Swasta
Djoko juga menyoroti keterbatasan keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur perkeretaapian. Menurutnya, tidak realistis jika pemerintah berharap investor swasta akan tertarik untuk membiayai pembangunan jalur rel tanpa adanya jaminan dukungan operasional dari negara.
"Tidak bisa mengandalkan swasta untuk membangun jalan rel. Selain investasi mahal, juga pemerintah harus memberikan dukungan operasional nantinya. Tanpa adanya dukungan operasional, pihak swasta tidak tertarik," ujarnya.
Menurut Djoko, membangun jalur rel tidak semudah membangun jalan tol. Selain prasarana, moda kereta api juga menuntut kesiapan sarana dan dukungan operasional yang berkelanjutan.
Artikel Rel Kereta Api Mati di Jawa Barat: Bisakah Hidup Lagi? Menyita perhatian pembaca di Kanal Bisnis Liputan6.com. Ingin tahu artikel terpopuler lainnya di Kanal Bisnis Liputan6.com? Berikut tiga artikel terpopuler di Kanal Bisnis Liputan6.com yang dirangkum pada Kamis (24/4/2025):
1.Rel Kereta Api Mati di Jawa Barat: Bisakah Hidup Lagi?
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai upaya mengaktifkan kembali jalur rel di wilayah Jawa Barat membutuhkan lebih dari sekadar semangat. Proyek revitalisasi rel kereta api ini memerlukan tekad yang kuat serta dukungan anggaran yang memadai, mengingat keterbatasan dana di tingkat daerah maupun pusat.
"Mengaktifkan kembali jalur rel di Jawa Barat, bukan sekedar semangat, namun perlu tekad yang kuat dan anggaran yang cukup. Oleh sebab itu, perlu dukungan anggaran yang pasti," kata Djoko dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu, 23 April 2025.
Menurut Djoko, rencana reaktivasi ini tidak bisa sepenuhnya bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Barat.
Pasalnya, provinsi ini masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam penyediaan infrastruktur dasar, terutama jalan-jalan di daerah pelosok yang masih belum memadai.
"Jika menggunakan APBD, pasti tidak mencukupi. Provinsi Jawa Barat masih perlu membangun jaringan jalan di daerahnya yang perlu segera dituntaskan," ujarnya.
Keterbatasan Swasta
Djoko juga menyoroti keterbatasan keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur perkeretaapian. Menurutnya, tidak realistis jika pemerintah berharap investor swasta akan tertarik untuk membiayai pembangunan jalur rel tanpa adanya jaminan dukungan operasional dari negara.
"Tidak bisa mengandalkan swasta untuk membangun jalan rel. Selain investasi mahal, juga pemerintah harus memberikan dukungan operasional nantinya. Tanpa adanya dukungan operasional, pihak swasta tidak tertarik," ujarnya.
Menurut Djoko, membangun jalur rel tidak semudah membangun jalan tol. Selain prasarana, moda kereta api juga menuntut kesiapan sarana dan dukungan operasional yang berkelanjutan.
2.BI: Perang Dagang Picu Gejolak Keuangan Dunia
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, mengatakan ketidakpastian global semakin meningkat dengan munculnya kebijakan tarif resiprokal atau timbal balik yang diumumkan oleh Amerika Serikat (AS) pada awal April 2025.
Kebijakan ini memicu respons retaliasi dari Tiongkok dan kemungkinan tindakan serupa dari negara-negara lain, yang pada gilirannya memperburuk fragmentasi ekonomi global dan menurunkan volume perdagangan dunia.
"Ketidakpastian perekonomian global makin tinggi didorong kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat. Pengumuman kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat awal April 2025 serta langkah retaliasi oleh Tiongkok dan kemungkinan dari sejumlah negara lain meningkatkan fragmentasi ekonomi global dan menurunnya volume perdagangan dunia," kata Perry dalam konferensi prs Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Rabu (23/4/2025).
Akibatnya pertumbuhan ekonomi dunia pada 2025 diperkirakan menurun dari 3,2 persen menjadi 2,9 persen. Dengan penurunan terbesar terjadi di Amerika Serikat dan Tiongkok, sejalan dengan dampak perang tarif kedua negara tersebut.
Selain mempengaruhi ekonomi dua negara besar, dampak dari perang tarif ini juga dirasakan di negara-negara maju dan negara berkembang lainnya.
Perry menyebutkan, pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut diperkirakan melambat. Penurunan ekspor ke Amerika Serikat dan dampak tidak langsung dari penurunan volume perdagangan internasional menjadi faktor utama yang memperlambat perekonomian global.
3. Bos BI Bocorkan Rahasia Stabilkan Rupiah yang Sempat Tembus Rp 17.400 per USD
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengungkapkan berbagai langkah strategis yang telah ditempuh BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah tekanan global yang meningkat.
Perry menyebut bahwa nilai tukar rupiah sempat berada dalam kondisi terkendali sebelum libur Ramadan dan Idul Fitri. Namun, dinamika global, khususnya kebijakan resiprokal yang meningkat selama masa liburan, menimbulkan tekanan besar terhadap nilai tukar di pasar luar negeri, khususnya pada instrumen non-delivery forward (NDF).
"Sebelum liburan Ramadan dan Idul Fitri, rupiah itu terkendali dan bagus. Tapi kemudian selama liburan Ramadan terjadi kebijakan resiprokal yang semakin tinggi dan menimbulkan tekanan-tekanan nilai tukar di luar negeri non-delivery forward," kata Perry dalam konferensi pers RDG BI, Rabu (23/4/2025).
BI pun memutuskan untuk melakukan intervensi secara intensif di pasar NDF luar negeri, mencakup pasar Hong Kong, Eropa, hingga Amerika Serikat, yang dilakukan secara berkesinambungan sepanjang waktu. Hasilnya, tekanan terhadap rupiah yang sempat menyentuh angka Rp 17.400 berhasil diredam dan dikembalikan ke level Rp 16.800.
"Oleh karena itu, kami menyelenggarakan rapat Dewan Gubernur pada 7 April 2025. Kami lakukan rapat Dewan Gubernur secara sah meskipun pada liburan karena kondisi global yang memerlukan itu," jelasnya.
Perry mengatakan, BI juga memastikan akan terus melanjutkan langkah-langkah stabilisasi melalui intervensi NDF, seiring dengan komitmennya menjaga kestabilan nilai tukar di tengah ketidakpastian global yang tinggi.