Liputan6.com, Jakarta Harga emas dunia berpotensi mengalami koreksi lebih dalam seiring dengan dinamika global yang masih menunjukkan ketidakpastian tinggi. Saat ini, harga emas tercatat berada di level sekitar USD 3.343 per troy ounce, namun ada indikasi kuat bahwa harga dapat kembali turun ke kisaran USD 3.307.
Pengamat Emas Ibrahim Assuaibi, menilai bahkan jika level tersebut tertembus, tidak menutup kemungkinan harga emas dunia akan menguji posisi yang lebih rendah.
"Ini kemungkinan harga emas dunia akan terkoreksi, koreksinya kemungkinan saat ini kan di USD 3.343 per troy ounce ya, ada kemungkinan besar dia akan ke USD 3.307," kata Ibrahim kepada Liputan6.com, Kamis (8/5/2025).
Menurutnya, pergerakan harga emas ini sangat dipengaruhi oleh dua faktor fundamental utama yang tengah membebani pasar logam mulia. Pertama, kebijakan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) yang masih cenderung ketat.
Hingga saat ini, The Fed belum memberikan sinyal pasti mengenai kapan suku bunga akan mulai diturunkan, padahal sebelumnya pasar berekspektasi akan terjadi pemangkasan suku bunga sebanyak tiga kali sepanjang tahun ini dengan total lebih dari satu persen.
"Ini kan sebenarnya ada 2 fundamental yang membuat harga emas dunia ini kan turun. Yang pertama itu kan Bank Central Amerika mempertahankan suku bunga, ya mempertahankan suku bunganya sampai kapan, sampai di mana perang dagang ini tidak membahayakan inflasi," ujarnya.
Penurunan Suku Bunga Pengaruhi Harga Emas Dunia
Namun dalam pertemuan terbaru, seluruh pejabat The Fed sepakat untuk mempertahankan suku bunga pada level saat ini hingga situasi global, khususnya terkait perang dagang, menunjukkan tanda-tanda mereda. Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok menjadi perhatian utama karena dampaknya terhadap inflasi dan stabilitas ekonomi domestik AS.
"Nah, ini yang membuat Bank Central sendiri belum memberikan waktu untuk penurunan suku bunga di tahun ini. Ya ini yang kita tahu bahwa Bank Central ini kan ekspetasinya itu akan menurunkan suku bunga 3 kali bahkan di atas 1%. Tapi dalam pertemuan tadi malam, semua pejabat yang rapat itu sepakat," katanya.
Kondisi ini semakin diperparah oleh kontraksi ekonomi Amerika Serikat pada kuartal pertama tahun ini yang tercatat menyusut sebesar 0,3 persen. Menurut Ibrahim, fakta ini mencerminkan adanya tekanan struktural yang belum terselesaikan, meski inflasi belum mencapai level yang mengkhawatirkan.
"Nah pasti akan berdampak ke inflasi karena harga-harga tinggi terutama di Amerika. Buktinya pertumbuhan ekonomi di Amerika kuartal pertama terkontraksi kan 0,3%," jelasnya.
Kepemilikan Obligasi Tiongkok di AS
Di sisi lain, perang dagang berpotensi meningkatkan tekanan inflasi akibat lonjakan harga barang dan gangguan pasokan, yang menjadi pertimbangan serius bagi The Fed dalam merumuskan arah kebijakan moneternya.
"Jadi, pejabat Bank Central Amerika, ya ini sepakat tidak akan menurunkan suku bunga sampai benar-benar perang dagang ini usai. Terutama itu adalah dengan Tiongkok," ujarnya.
Faktor kedua yang turut membebani harga emas adalah posisi kepemilikan obligasi Amerika Serikat oleh Tiongkok. Saat ini, sekitar 60 hingga 70 persen dari total obligasi pemerintah AS dikuasai oleh negara tersebut.
"Yield obligasi Amerika itu hampir 60-70% itu dikuasai oleh Tiongkok, sehingga sangat berbahaya kalau ini terjadi, seandainya terjadi perang dagang, Tiongkok kemungkinan besar akan menarik obligasinya dari Amerika," jelasnya.
Ibrahim melihat, ketegangan yang memanas dalam hubungan dagang antara kedua negara menimbulkan kekhawatiran bahwa Tiongkok dapat mengambil langkah ekstrem dengan menarik investasinya dari instrumen surat utang AS, sebuah langkah yang akan mengguncang pasar keuangan dan merusak kestabilan moneter yang dijaga ketat oleh The Fed.
"Nah ini yang mengkhawatirkan bagi Bank Central Amerika, karena Bank Central Amerika itu kan tugas utamanya itu adalah untuk kestabilkan moneter kan. Untuk kestabilkan mata uangnya," pungkasnya.