Liputan6.com, Jakarta Di balik segala persiapan pernikahan yang sering kali bersifat simbolik dan seremonial, Agung dan Mega memilih menaruh perhatian pada hal yang lebih mendasar, yakni bagaimana membangun kehidupan bersama yang sehat secara emosional dan finansial. Salah satunya melalui pembicaraan tentang perjanjian pranikah.
Pasangan muda ini menilai perjanjian pranikah bukan perkara kepercayaan atau kecurigaan. Melainkan soal kesiapan menghadapi kenyataan hidup, termasuk risiko-risiko yang mungkin datang di masa depan.
Bagi Agung, pernikahan bukan hanya tentang menyatukan dua hati, tapi juga dua kehidupan yang penuh dinamika. Ia memahami bahwa cinta perlu dilandasi dengan kejelasan dan kesepakatan.
Maka dari itu, Agung terbuka dengan gagasan perjanjian pra-nikah. Bukan sebagai bentuk kecurigaan, tapi sebagai langkah antisipatif agar masing-masing pihak memahami batas, tanggung jawab, dan haknya dalam pernikahan.
"Terbuka (untuk perjanjian pra nikah), mau dibuat boleh ga juga boleh tapi minimal punya perjanjian secara lisan kalau memang tidak mau dibuat hitam putih," kata Agung kepada Liputan6.com, Kamis (8/5/2025).
Pria 28 tahun ini memandang bahwa harta milik pasangan sepenuhnya tetap menjadi milik pasangan. Ia tidak menuntut hak atas apa yang bukan miliknya, melainkan hanya menganggap dirinya sebagai pengguna bersama selama ada kepercayaan.
Perjanjian Pranikah Berlaku dalam Mengatur Urusan Utang
Prinsip ini juga berlaku dalam urusan usaha dan utang. Bagi Agung, setiap langkah finansial harus dibicarakan secara terbuka. Tidak ada tempat untuk rahasia dalam rumah tangga, sebab menyembunyikan utang atau usaha berarti mencederai kepercayaan.
"Secara pribadi aku menganggap harta pasangan adalah hak milik pasangan, kalo aku mungkin cuma ada hak guna/pakai. Usaha dan hutang harusnya udah berdasarkan diskusi bersama, jadi udah sama sama tau resikonya apa, jangan sampe punya hutang atau usaha diem diem, artinya ga percaya sama pasangan sendiri. Dan khusus hutang, hutang yang baik adalah yg terukur sesuai kemampuan," jelas Agung.
Soal penghasilan, Agung cenderung ingin menggabungkannya, namun ia juga sadar bahwa konsep ini tak selalu berhasil diterapkan begitu saja. Ia terbuka pada kemungkinan melakukan penyesuaian setelah menikah. Yang terpenting, menurutnya, adalah diskusi terus berjalan dan keputusan dibuat bersama.
"Sejujurnya lebih setuju digabung tapi disatu sisi juga setuju dengan pembagian porsi karna ada tanggung jawab laki-laki untuk memberikan nafkah. Cuma kembali lagi ini mungkin harus try and error setelah menikah dan didiskusikan lebih lanjut sama pasangan," ujarnya.
Dalam komitmennya, Agung memegang teguh prinsip kesetiaan. Ia dan pasangannya telah membuat kesepakatan, bahwa jika suatu saat ada yang berkhianat, maka cukup keluar dengan membawa pakaian saja sebuah peringatan tegas bahwa pengkhianatan memiliki konsekuensi besar.
"Jika yang berkhianat keluar bawa baju aja. Ini sudah big point aku sama pasangan," ungkapnya.
Perjanjian Pranikah dari kacamata Perempuan
Sama halnya dengan Agung yang merupakan calon suami, Mega menyambut gagasan perjanjian pra-nikah. Bukan karena tidak percaya pada pasangan, melainkan karena ingin memastikan bahwa keduanya terlindungi jika sewaktu-waktu hidup tidak berjalan seperti rencana.
"Kita sih terbuka, pandangan aku terkait perjanjian pra nikah bukan karna kita gak percaya sama pasangan tapi "mereka" yang bercerai pun awalnya yakin akan bersama seumur hidup, dan gak ada salahnya untuk buat biar kedepannya juga aman secara hukum dan melindungi pasangan dari kerugian yang timbul," ungkap Mega.
Perempuan 26 tahun ini, tidak terlalu mempermasalahkan porsi dalam pembagian penghasilan. Baginya, yang lebih penting adalah kerja sama. Ia ingin membangun rumah tangga dengan prinsip kantong bersama bukan semata-mata soal uang, tapi soal menyatukan mimpi dan langkah. Ia percaya bahwa impian bersama tidak akan tercapai jika masih berkutat soal siapa memberi lebih atau siapa berhak atas apa.
Senada dengan Agung, Mega mengatakan siapa pun yang berkhianat hanya berhak pergi dengan pakaian dan barang pribadi. Mega percaya, komitmen harus dihormati dengan sungguh-sungguh.
"Yang berkhianat hanya bawa baju," ujarnya.
Disisi lain, jika suatu saat Mega memutuskan untuk berhenti bekerja, ia meyakinkan diri bahwa keputusan itu akan dibuat dengan perhitungan yang matang. Tidak asal berhenti, tapi memastikan bahwa secara finansial, keluarga tetap bisa berjalan. Ia percaya, komunikasi terbuka dengan pasangan akan membuat segala keputusan besar terasa lebih ringan.
"Kalo 'berhenti' berarti sudah dipikirkan jaminan finansial dan kemampuan finansialnya," pungkas Mega.