Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Republik Indonesia (Menkeu) Sri Mulyani bertemu dengan Menteri Keuangan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) H.E Lan Fo’an pada Minggu, 4 Mei 2025 membahas mengenai negosiasi dan kerja sama strategis untuk merespons kebijakan tarif resiprokal atau timbal balik Amerika Serikat (AS).
Pertemuan ini dilakukan sebelum dimulainya rangkaian pertemuan ASEAN+3 di Milan dan menjadi lanjutan dari pertemuan sebelumnya di Washington D.C, AS pada rangkaian IMF-World Bank Spring Meetings lalu.
"Kami sepakat akan bertemu kembali di Milan untuk melanjutkan berbagai pembahasan, sekaligus memperingati hubungan diplomatik antara RRT dengan Indonesia ke-75 tahun," ujar Sri Mulyani seperti dikutip dari laman kemenkeu.go.id, Senin (5/5/2025).
Dalam pertemuan tersebut, Menkeu Sri Mulyani menyebutkan mengenai negosiasi dan tawaran kerja sama Indonesia dalam merespons dan memahami arah penerapan kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS).
Sementara itu, Menkeu China Lan Fo’an mengapresiasi atas dukungan Indonesia terhadap berbagai inisiatif ASEAN+3 tahun ini, di mana Tiongkok berperan sebagai Co-Chair.
"Kami berharap sinergi baik antara Tiongkok dan Indonesia akan terus terjaga. Semoga ke depannya, Indonesia dan Tiongkok bisa menggali potensi kerja sama yang lebih luas," kata Menkeu.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menghadiri Pertemuan Musim Semi (Spring Meeting) Grup Bank Dunia (World Bank Group) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) yang diselenggarakan pada 21–25 April 2025 di Washington, DC, Amerika Serikat (AS).
Sri Mulyani juga menghadiri Pertemuan Tingkat Menteri dan Gubernur Bank Sentral (Finance Ministers and Central Bank Governors/FMCBG) G20 yang menjadi salah satu agenda utama dalam rangkaian Spring Meeting.
"Saya baru tadi malam mendarat, baru selesai dalam perjalanan di Amerika Serikat bertemu dengan para investor di New York dan di Washington DC untuk Spring Meeting, IMF and World Bank Spring Meeting dan G20 Meeting, serta berbagai pertemuan bilateral yang dilakukan dengan teman-teman menteri keuangan terkait maupun dengan multilateral development bank," kata Menkeu dalam konferensi pers APBN KiTa, di Jakarta, Rabu, 30 April 2025.
Sri Mulyani: Amerika Kini Merasa Terzolimi, Indonesia Harus Waspada
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan dinamika menarik dalam pertemuan musim semi (Spring Meeting) di Washington, D.C Amerika Serikat, baru-baru ini.
Dalam forum tersebut, pernyataan dari Amerika Serikat menjadi sorotan utama, yakni bahwa negara adidaya itu merasa telah diperlakukan tidak adil oleh sistem global yang selama ini justru kerap dikritik oleh negara-negara berkembang.
"Jadi, di Washington kemarin headline dan topik paling menonjol adalah statement Amerika bahwa mereka merasa dizolimi oleh sistem global," kata Menkeu dalam konferensi pers APBN KiTa, Rabu (30/4/2025).
Padahal, menurut Sri Mulyani, selama ini yang banyak merasa dizolimi oleh globalisasi adalah negara-negara berkembang. Tapi sekarang, justru Amerika yang menyatakan bahwa mereka 'diperlakukan tidak adil'. Ini tentu menarik dan menunjukkan bahwa sistem global sedang mengalami guncangan besar.
"Karena ternyata yang terzolimi tidak hanya negara berkembang tapi negara paling kuat dan paling besar ekonominya di dunia merasa bahwa the global system is unfair," uajrnya.
Menurut Sri Mulyani, pernyataan ini menjadi kejutan karena datang dari negara dengan ekonomi terbesar di dunia, yang selama ini dianggap sebagai pihak yang paling diuntungkan dari sistem global yang ada.
Adapun ketidakadilan dan ketidakseimbangan menjadi sorotan utama dalam forum tersebut. Sorotan kedua adalah mengenai ketidakseimbangan (imbalances) dalam sistem perdagangan dan ekonomi dunia.
AS Nilai Sistem Perdagangan Internasional Ciptakan Ketidakseimbangan Struktural
Sebelumnya, Sri Mulyani menjelaskan, Amerika Serikat menilai sistem perdagangan internasional telah menciptakan ketidakseimbangan struktural yang merugikan. Sebagai respons, negara itu mengambil tindakan korektif melalui kebijakan tarif resiprokal.
"Yang meng create imbalances. Ketidakseimbangan itu menjadi headline kedua. Unfair nomer satu, imbalances nomer dua. Dan oleh karena itu Amerika melakukan corrective action melalui retaliasi tarif, reciprocal tarif istilahnya. Reciprocal tarif yang kemudian kalau negara lain bales namanya retaliasi," ujarnya.
Dalam praktiknya, satu-satunya negara yang melakukan balasan secara terbuka adalah Tiongkok (RRT), sementara negara-negara lain memilih pendekatan diplomatik dan negosiasi.
"Kebetulan satu-satunya negara yang bales adalah RRT, yang lainnyaengagement negosiasi," ujarnya.
Indonesia Harus Waspada
Sri Mulyani menekankan bahwa pernyataan dan langkah Amerika ini menandai adanya perubahan besar dalam tatanan dunia (global order). Ia menyebut bahwa dunia kini berada dalam fase guncangan geopolitik dan geoekonomi yang memerlukan kewaspadaan dari semua negara, termasuk Indonesia.
"Di dalam konteks ini saya ingin menyampaikan di luar headline statement yang harus kita waspadai adalah the global order berubah atau mengalami guncangan sangat besar. Global order, order dunia. Kalau kita lihat ini berarti kita sebagai negara besar di ASEAN dan di G20 Indonesia juga harus waspada dan repositioning," ujarnya.
Sri Mulyani menilai bahwa tatanan dunia yang sebelumnya berbasis multilateralisme mulai tergeser ke arah unilateral dan bilateral. Mekanisme negosiasi kelompok (group negotiation) pun dinilai belum efektif karena belum disepakati secara luas.
"Kita harus memahami dan mengantisipasi perubahan ini dan mewaspadai untuk menjaga kepentingan kita. Melindungi rakyat kita, melindungi dunia usaha kita," pungkasnya.