Liputan6.com, Jakarta Industri hasil tembakau (IHT) di Jawa Timur bukan hanya strategis dari sisi ekonomi, tetapi juga menjadi denyut nadi bagi penyerapan tenaga kerja dan stabilitas sosial masyarakat. Hal tersebut diungkapan Kepala Kantor Bea dan Cukai Wilayah Jatim I, Untung Basuki.
“Industri hasil tembakau memiliki porsi yang sangat besar bagi Jawa Timur,” ujar Untung dikutip Minggu (11/5/2025).
Data menunjukkan bahwa target penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2025 mencapai Rp230,09 triliun dari total target penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp301,6 triliun.
Dari jumlah tersebut, Jawa Timur ditargetkan menyumbang 60,18%, menjadikannya sebagai wilayah dengan kontribusi terbesar secara nasional. Selain itu, Jawa Timur juga memiliki 977 perusahaan tembakau yang tersebar di hampir seluruh kabupaten dan kota, mencerminkan tingginya tingkat keterlibatan ekonomi daerah terhadap sektor pertembakauan nasional.
Selain berdampak pada penerimaan negara, keberadaan IHT juga berkaitan erat dengan sektor tenaga kerja, terutama bagi para pelinting sigaret kretek tangan (SKT). Sektor ini merupakan sektor padat karya dan menjadi tumpuan hidup bagi ribuan pekerja perempuan di berbagai pabrik tembakau.
“Kalau bapak-Ibu lihat itu di pabrik-pabrik yang SKT begitu keluar kalau sore, itu sebagian besar pekerjanya adalah ibu-ibu semua, jumlahnya tidak lagi ratusan, tapi sudah ribuan,” kata Untung.
Untung juga menyoroti pentingnya pendekatan terintegrasi dalam menyusun peta jalan (roadmap) industri hasil tembakau, yang mencakup aspek kesehatan, ekonomi, hingga penegakan hukum. Ia menegaskan bahwa kebijakan yang terlalu menitikberatkan pada sisi kesehatan tanpa memperhatikan dampak ekonomi dan sosial akan menimbulkan ketimpangan.
“Kita bicara mengenai roadmap industri hasil tembakau, yang harus terintegrasi,” jelasnya.
Pengendalian Konsumsi Rokok Ilegal
Di sisi lain, Untung mendukung pengendalian konsumsi rokok ilegal yang merusak ekosistem usaha legal dan berimbas langsung pada penerimaan negara. Pemberantasan rokok ilegal dilakukan lewat patroli darat dan cyber crawling di platform daring. “Rokok ilegal merusak fair competition dalam penjualan pasar,” tegasnya.
Dalam konteks Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), Jawa Timur juga menjadi penerima terbesar, yakni Rp3,58 triliun dari total nasional Rp6,39 triliun. Dari jumlah tersebut, 40% dialokasikan untuk kesehatan, 50% untuk kesejahteraan masyarakat, dan 10% untuk penegakan hukum.
“Pengendalian hasil tembakau harus tetap berjalan sesuai harapan,” beber Untung.
Awas, Tarif Cukai Naik Tinggi Picu Peredaran Rokok Ilegal Makin Marak
Sebelumnya, Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun mendorong pemerintah melakukan penyesuaian terhadap aktivitas bisnis tembakau dan mengkaji ulang penerapan tarif cukai pada industri produk tembakau secara moderat sehingga penerimaan negara dapat semakin optimal.
Misbakhun menyampaikan hal itu pada rapat kerja Komisi XI DPR bersama DJBC di gedung Parlemen, Senayan, Rabu (7/05/2025) kemarin.
Menurut Misbakhun, kebijakan tarif cukai hasil tembakau jangan sampai eksesif, sehingga industri hasil tembakau tidak mengalami kontraksi. Ia mencontohkan, saat Komisi XI DPR RI kunjungan ke pabrik rokok Gudang Garam beberapa waktu lalu.
"Selama ini kan kita berpihak ke Sigaret Kretek Tangan (SKT) Pak, tetapi sekelas Gudang Garam, untuk golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM I) mengalami kontraksi yang luar biasa. Nah, konstraksi luar biasa produksinya menurun tetapi di pasar tembakau ini habis Pak," ungkap Misbakhun.
Misbakhun belum tahu persis hal itu. Mungkin apakah terjadi peningkatan impor terhadap tembakau, sehingga kalau tembakau dalam negeri habis terjadi peningkatan impor juga terhadap tembakau.
"Saya yakin yang berkembang kan ya rokok di sini rokok Madura ini Pak, rokok Madura ini kalau berkembang yang untung orang Madura Pak, mengembangkan ekonomi Madura," ujar Misbakhun seraya mencandain anggota Komisi XI (baca: pak Eric Hermawan dapil Jatim XI). Menurut Misbakhun, kondisi yang dialami Gudang Garam harus dianalisis dan perlu mengatur exit strateginya, apakah ini juga dialami oleh pabrik rokok lainnya.
"Kalau ini dialami oleh pabrik rokok yang lainnya, berarti sistem tarif cukai yang selama ini selalu menggunakan single model yaitu kenaikan tarif dan selalu dikenakan pada golongan SKM I, maka kita harus mengkaji ulang, karena itu eksesif dari sisi apa produksi dan eksesif terhadap penerimaan cukai kita," terang politisi Partai Golkar itu.
Kebijakan Tarif Cukai
Terpisah, Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrikkebijakan tarif cuka Rokok Indonesia (GAPPRI) secara prinsip mendukung dirumuskannya Peta Jalan (Roadmap) kebijakan tarif cukai danharga jual rokok eceran (HJE) untuk periode 2026 - 2029.
Ketua umum GAPPRI, Henry Najoan berpendapat, agar Peta Jalan (Roadmap) kebijakan ini efektif, efisien dan menciptakan iklim usaha yang kondusif, maka Perkumpulan GAPPRI meminta dua hal.
Pertama, agar selama tahun 2026 - 2029, industri hasil tembakau (lHT) diberi waktu pemulihan terutama dari tekanan rokok murah yang tidak jelas asal dan produsennya, dengan cara tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) tidak dinaikkan.
"Kemudian, tahun 2029 saat daya beli membaik dapat dinaikkan sesuai kondisi pertumbuhan ekonomi atau inflasi," ujar Henry Najoan.