Kekalahan yang Membuka Mata: Pelajaran untuk Real Madrid dari Anfield

1 month ago 26

Liputan6.com, Jakarta Real Madrid kembali pulang dari Anfield dengan rasa kecewa. Hampir setahun setelah kekalahan mereka musim lalu di stadion yang sama, hasil serupa terulang. Liverpool menaklukkan Madrid (1-0) dengan intensitas tinggi, menyisakan refleksi mendalam bagi tim tamu.

Xabi Alonso datang dengan modal tren positif, termasuk kemenangan penting atas Barcelona dalam El Clasico. Namun, pertandingan ini menunjukkan bahwa performa bagus tidak selalu berlanjut tanpa kendala saat menghadapi lawan yang mampu menekan tanpa henti. Kesalahan kecil dan kurangnya eksekusi menjadi pembeda.

Meskipun Alonso menegaskan bahwa timnya sudah berjuang dan memberikan segalanya, kenyataan di lapangan menunjukkan ada masalah yang perlu diperbaiki. Intensitas memang ada, tetapi efektivitas tidak. Madrid menutup laga dengan hanya dua tembakan tepat sasaran.

Bintang yang Tidak Mampu Menentukan Hasil

Real Madrid datang dengan ekspektasi besar pada lini serang mereka. Kylian Mbappe memimpin daftar pencetak gol Eropa, sementara Vinicius Junior biasanya menjadi sumber penetrasi utama di sisi kiri. Namun keduanya gagal memberi ancaman berarti.

Mbappe berulang kali terperangkap jauh dari kotak penalti. Setiap kali ia menerima bola, Ibrahima Konate dan Virgil van Dijk sudah berada dalam posisi optimal. Bahkan ketika ia sempat masuk area berbahaya, duel udara menghentikannya, sesuatu yang memang bukan keunggulan utamanya.

Di sisi lain, Vinicius kembali kesulitan menghadapi Conor Bradley, sama seperti musim lalu. Ia gagal melewati lawan, tidak menghasilkan satu tembakan pun, dan efektifitas dribelnya merosot. Pola permainan Madrid yang banyak bertumpu pada sisi kiri tidak membuahkan perubahan.

Alonso mengakui kesulitan timnya menembus area akhir. “Kami kesulitan mencapai garis terakhir,” ujarnya. Struktur dan penempatan masih belum mendukung kreativitas alami para pemain depan.

Minimnya Pengalaman dalam Situasi Kritis

Anfield memberikan suasana yang menuntut ketenangan. Madrid memiliki intensitas, bahkan memenangkan 50 recovery bola, tetapi tidak memiliki kendali ketika ritme pertandingan berubah. Di sinilah pengalaman memainkan peran penting.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak figur senior meninggalkan Madrid: Karim Benzema, Toni Kroos, Nacho, Luka Modric, hingga Lucas Vazquez. Mereka digantikan pemain muda seperti Alvaro Carreras, Dean Huijsen, dan Franco Mastantuono. Transisi ini membawa energi baru, tetapi juga kehilangan ketegasan dalam momen penting.

Vinicius menerima kartu kuning ketika terpaksa menghentikan serangan balik Liverpool, contoh bagaimana keputusan diambil karena tekanan, bukan kalkulasi. Thibaut Courtois dan Federico Valverde juga menekankan hal serupa usai pertandingan, pengalaman menjadi faktor yang hilang.

Alonso menambahkan, timnya perlu belajar untuk tidak memberikan pelanggaran di waktu yang tidak tepat.

Pergantian Pemain yang Tidak Berdampak

Formasi awal Alonso tidak berubah dari keberhasilan di El Clasico. Namun saat permainan berjalan dan Liverpool mencetak gol, perubahan yang dilakukan tidak mengubah arah pertandingan.

Eduardo Camavinga menjadi pemain pertama yang diganti, digantikan Rodrygo. Namun, Rodrygo tidak memberi dampak berarti. Ia kehilangan bola sembilan kali dan tidak menciptakan peluang. Keputusan tersebut dipertanyakan, terlebih karena penyerang muda seperti Gonzalo Garcia dan Endrick tidak mendapat kesempatan.

Trent Alexander-Arnold masuk di menit ke-81, tetapi ritme pertandingannya belum kembali setelah cedera, ditambah tekanan emosional dari publik Anfield yang mengenalnya dengan baik.

Pergantian terakhir datang terlambat, dan tidak memberikan bentuk baru pada serangan. Kritik yang dulu pernah ditujukan kepada Carlo Ancelotti kini juga diarahkan kepada Alonso.

Read Entire Article
Bisnis | Football |